Jangan
Jangan
Bentuknya terlihat megah dengan warna biru muda yang melapisi dinding rumah ini, ada juga beberapa ukiran batu yang menambah kesan elegan bangunan ini. Rumah bertingkat dua dan berlantai keramik ini ditempati oleh juragan tebu yang makmur di kampung ini, lahannya sampai berhektar-hektar luasnya, mungkin luasnya melebihi lapangan sepakbola yang ada di ibu kota itu.
Tiap masa panen tiba, rumah paman ini akan didatangi oleh orang-orang yang berpakaian rapi ala orang kota. Walaupun terkenal kaya dan dipandang di kampung, tak menjadikan paman ini rendah hati dan suka berbagi. Banyak dari petani tebu -yang merupakan warga kampung kami- mengeluh gaji yang tak sebanding dengan jam kerja. Namun warga tak bisa protes banyak, alasannya jelas tak ada mau menerima warga yang tidak menempuh pendidikan. Bagi mereka, tak masalah gaji kecil asalkan perut terisi dan nafkah anak istri terpenuhi, itu sudah cukup.
Saat itu masa panen tiba, Amak -sebutan kampung kami untuk ibu- yang bekerja sebagai petani bilang pada Amad bahwa tahun ini adalah panen yang terbesar. "Tahun ini panen besar, semoga kita bisa beli mainan yang kamu mau di pasar itu ya." kata amak sambil mengelus lembut rambut Amad yang masih basah sehabis mandi. Amad jelas senang, sudah lama ia menginginkan mainan tentara yang memegang senapan sambil mengeluarkan kata-kata dalam Bahasa Inggris itu. Lantas Amak bergegas menuju kebun, harap-harap ada rezeki lebih hari ini. Senyumnya tipis, tapi ampuh untuk menutupi keriput dipipi-nya.
Amad pergi bermain dengan Yohan, anak dari juragan tebu kampung, juga beberapa anak-anak lain. "Yohan, payolah main." teriak anak-anak itu, Amad berteriak paling keras. Tanpa menunggu lama, Yohan keluar sembari membawa tas kecil yang digenggam di tangan kanannya, mereka memilih bermain di pendopo kecil tak jauh dari rumah Amad.
Tadinya mereka hendak bermain gobak sodor, namun mereka lebih tertarik dengan apa yang dibawa Yohan di dalam tas itu. Ternyata didalamnya ada sebuah robot mainan berukuran sedang nan canggih. berbinar-binar mata anak-anak ini, terutama Amad yang sedari tadi menganga melihat mainan sekeren itu. Makin tak sabar ia menunggu Amak Pulang dari kebun.
Matahari yang tadi berdiri kokoh di atas kepala, perlahan turun menuju arah barat. Seharian ini, Amad hanya memandangi Yohan memainkan robot canggih itu. Tadinya ia hendak memainkannya juga, tapi Yohan tak memberikannya, "Nanti rusak, disini ndak ada yang jual." tak kuasa pula Amad memaksa.
Amad membuka pintu, mengucap salam, dan memeluk amaknya yang tengah memasak di dapur. "Besok kita jadi dak ke pasar, Mak?" dengan mata berbinar-binar ia menatap Amak, "Nanti ya, ternyata tadi hasilnya belum banyak. Semoga besok ada rezeki lagi ya." Ucap Amak seraya mengelus-elus rambut hitam Amad.
Besoknya sama saja, Amak pergi ke kebun dan Amad pergi bermain dengan kawan-kawannya. Kali ini Yohan membawa kotak besar, tak seperti kemarin. Semuanya tampak senang, terutama Amad yang tak bisa berhenti menganga melihat isinya. Kali ini yang dibawa adalah mobil mainan yang digerakan dengan remote control, senang sekali bocah-bocah itu mengejar-ngejar mobil mainan itu sampai Amad terjatuh dan luka. Untunglah ketika luka itu, Amak ada dirumah dan bisa segera diobati. "Mak, tadi Yohan beli mobil mainan. Keren kali, Mak." dengan polosnya kalimat itu keluar dari mulut Amad.
Amak mengerti keinginan anaknya ini, namun hasil kebun masih belum sesuai harapan Amak, hanya cukup untuk makan hari ini dan besok. "Nanti kalo sudah sembuh, kita ke pasar ya. Jangan banyak gerak dulu ya." Amak kali ini mencium kening Amad, cium penuh sayang.
Besoknya Amad sudah bisa lompat-lompat seperti biasa walau sedikit perih ia rasa. "Amak, Amad mau bantu ke kebun, siapa tau dapat tambahan uang buat beli mainan." Amak terkejut dengan perkataan Amad. "Dak payah, Kamu diam saja di rumah, atau main sama teman-teman saja ya." Tak sempat Amad menjawab, Amak sudah melenggang ke kebun.
Sudah 2 hari setelah jadwal panen harusnya berlangsung, namun ada beberapa batang tebu yang membusuk dan harus dibuang. Dengan sigap Amak memotong batang tebu, memisahkan pucuknya, dan menaruhnya di atas terpal. Saat sudah selesai memotong, Amak mengambil 30-50 batang batang tebu,mengikatnya, lalu menentengnya ke atas pundak untuk kemudian dibawa ke tempat penggilingan.
Bukan hal yang mudah terutama untuk perempuan, namun Amak sudah terbiasa dengan beban kerja seperti ini. Menempuh 2 kilometer perjalanan bukanlah jalan yang terlampau jauh jika sudah sering dilakukan. Jika memang sedang tidak panen besar, Amak hanya perlu membawa satu ikat untuk dibawa ke tempat penggilingan. Namun hari ini Amak hanya membawa dua ikat tebu untuk dibawa ke penggilingan. Jelas ini bukan pertanda baik, dua hari sebelumnya Amak membawa empat ikat tebu. Saat sampai tempat penggilingan, lantas Amak segera menaruhnya dan menerima upah. 50 ribu, ini lumayan mengingat sebelumnya kadang hanya 30 ribu uang yang Amak dapat. Segera Amak pulang dan membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam.
Saat pulang melintasi rumah Pak Danu -juragan tebu-, ada hal mengganjil melintasi pikiran Amak. Ini adalah musim panen, tapi kenapa dua hari sebelumnya sampai hari ini rumah Pak Danu tak seramai biasanya. Mungkin sedang jalan-jalan pikir Amak mencoba berpikir positif. Betapa bahagianya Amak melihat anaknya tengah menunggunya di pelataran rumah kecil mereka.
Seminggu berlalu dengan cepat. Sesuatu yang mengejutkan terjadi di kampung ini.
Yang pertama adalah panen tahun ini gagal. Pak Danu yang biasa dikenal selalu berhasil panen raya tiap tahun, tahun ini harus gagal memanen tebu dari kebunnya. Para pekerja memaklumi kejadian ini, mungkin ini adalah tahun yang sial untuk Pak Danu. Lantas para pekerja berusaha menemui Pak Danu di rumahnya.
Kejadian kedua adalah rumah Pak Danu masih terlihat kosong, bukan terlihat tapi memang kosong. Para pekerja yang menjadi asistennya juga tak tahu kemana keberadaannya, sudah seminggu ia tak terlihat. Para asisten ini meminta bayaran mereka, namun karena belum mendapat uang dari Pak Danu mereka tak bisa membayar para petani yang telah memanen hasil kebun tebu Pak Danu. Makin timbul prasangka diantara para pekerja ini.
Seminggu lagi berlalu dengan cepat, rumah itu masih terlihat kosong. Orang-orang berusaha memanggilnya dengan meneriakan namanya, beberapa juga terdengar mencacinya. Dan akhirnya para pekerja kebun itu kini mulai beralih profesi demi memenuhi kehidupan mereka. Ada yang nekat pergi kota walau tak jelas nasibnya, ada juga yang tidak berani mengambil risiko dan memilih mencari pekerjaan disini saja.
Amak memilih beralih menjadi pengepul bahan makanan untuk dijual kembali kepada orang-orang di pasar. Walaupun perlu modal yang lumayan besar untuk membeli bahan dari pengepul, namun hasil yang di dapat lebih baik ketimbang saat jadi petani sawit.
Kalau di kebun tebu biasanya Amak bisa berangkat ketika matahari tengah perlahan naik, kini Amak harus berangkat jauh sebelum matahari terbit. Amad sebenarnya tak keberatan, justru Amak yang khawatir akan terjadi sesuatu pada anaknya ketika ia pergi saat dini hari, "Amak pergi dulu ya. Hati-hati disini." Amak pamit ke menuju pasar. Dengan sigap, Amak mendorong gerobaknya menuju pengepul yang berjarak tak jauh dari pasar. Amak sengaja berangkat dini hari karena berniat mendapatkan bahan-bahan yang masih sangat segar. Saat semua bahan sudah terkumpul, Amak menimbang dan memasukan itu ke dalam plastik dan bergegas menuju pasar.
Hari ini pasar lumayan ramai, begitu juga dengan lapak Amak. Sibuk sekali wanita tua ini mengurusi berbagai pelanggan yang datang membeli, beberapa memborong beberapa juga hanya membeli seperlunya. Saat sudah sedikit lenggang, Amak menyempatkan waktu untuk mengobrol dengan pedagang lain yang lapaknya bersebelahan dengan Amak. "Bu, rumah Pak Dani itu masih kosong ya?" Tanya Bu Tini yang juga dulu pekerja di kebun tebu, tapi bukan sebagai petani. "Iya, dari kemarin gak ada orang nampaknya." Amak hanya menjawab singkat. "Gaji kita belum lagi dibayarkannya, udah main ilang-ilangan aja dia." Geram Bu tini.
Panjang sekali dua wanita ini bicara tentang Pak Danu dan kebun tebunya, hingga tanpa terasa dagangan Amak sudah habis. Hasil hari ini lumayan, bisa untuk makan dua hari kedepan, dan sedikit menabung untuk membelikan mainan Amad. Dengan sigap ia masukan ke dalam dompet, dan segera mendorong gerobaknya pulang.
Saat sudah dekat, Amak mencium sesuatu yang amat busuk baunya. Makin dekat dengan rumahnya, makin pekat bau busuk itu tercium. Seketika amak terkejut dengan rumah Pak Danu yang tiba-tiba ramai. Kali ini bukan para orang rapih dengan kemeja dan dasi, melainkan beberapa orang dengan seragam kepolisian dan petugas kesehatan. Amad yang dari tadi berada di situ, menyadari kehadiran Amak dan segera menghampirinya. "Ada apa ini, Ananda?" Tanya Amak lembut. "Pak Danu mati, sudah busuk kata orang-orang." Terkejut Amak dengan perkataan Amad, ia pun bertanya kepada orang-orang disana.
Ternyata memang benar, Pak Danu ditemukan Tewas bersama keluarganya membusuk di dalam rumahnya sendiri. Kondisinya sangat mengenaskan, terutama Pak Danu. Ia ditemukan meninggal dengan kondisi matanya terbuka dan mulutnya terbuka lebar dengan beberapa bekas cakaran lebar tersayat di wajahnya. Segera Amak pulang dan membawa Amad pergi dari situ.
Hari berganti hari, kematian Pak Danu membawa curiga kepada warga sekitar. Ada yang berbela sungkawa, ada juga yang tak segan-segan menghina mendiangnya. Melihat kematiannya yang tak wajar, banyak warga mengira Pak Danu melakukan pesugihan. Ada yang pernah mendengar Pak Danu memekikan nama-nama yang diyakini sebagai jin, hal itu dilakukan ketika ada hal-hal penting seperti saat hendak panen raya. Makin yakin warga dengan cerita itu, Makin kuat pula orang-orang menyumpahinya. "Itulah karena tamak, harta banyak dipendam sendiri. Udah gitu pakai Jin lagi, mampuslah kau tu." Ujar bu Tini.
Pak Prabu selaku ketua RT mengingatkan untuk jangan mendekati rumah itu untuk beberapa waktu, karena mungkin Jin itu masih ada dan akan meminta tumbal ketika orang memasuki rumahnya. "Ibu-ibu dan Bapak sekalian, jangan dulu masuk ke dalam rumah ini atau ngambil barang-barang disini. Takutnya jin itu meminta tumbal waktu orang memasuki rumah itu." Dengan cepat berita itu menyebar, namun Amak yang tak terlalu percaya hal mistis tak menaruh banyak perhatian padanya. Amak sudah ikhlas dengan gaji yang tak dibayarkan oleh Pak Danu, pun ternyata uang itu tak berkah.
Dini hari Amak sudah bangun, mandi, dan bersiap pergi menuju tempat pengepul. Kemarin-kemarin tak sempat ia membelikan mainan untuk anaknya, ternyata uang Amak masih kurang. Namun ia sudah menghitung-hitung penghasilan untuk hari ini, jika sesuai maka mainan itu bisa di beli dan masih ada uang makan untuk beberapa hari kedepan. Amak tak berniat memberi tahu Amad, ia ingin hadiah ini menjadi kadonya karena beberapa hari yang lalu ia berulang tahun. Dengan semangat, Amak dorong gerobak itu.
Hari ini dagangan Amak laris dengan cepat. Merekah sejadi-jadinya senyum amak melihat tumpukan uang di depan matanya, segera ia membereskan dagangan. Namun Amak ingin membeli beberapa bahan makanan disini, dan juga mainan berupa tentara yang sudah Amad idam-idamkan itu. Berjalan dengan cepat Amak dari satu lapak ke lapak lain, menawar beberapa barang, dan membawa itu ke dalam gerobak. Hari ini benar-benar berkah bagi Amak, dagangannya ludes, bisa membeli satu ekor ayam untuk dua sampa tiga hari kedepan, dan mainan untuk Amad sudah ada di tangan Amak.
"Assalamualaikum, Amad. Amak pulang." tak ada yang menjawab, mungkin Amad tengah bermain dengan teman-temannya pikir Amak. Amak belum sempat tidur sejak dini hari, bukannya lantas tidur Amak sudah bergegas ke dapur, membersihkan ayam, memotongnya menjadi beberapa bagian, dan menggorengnya diatas kompor. Makanan sudah siap, Amak hendak tidur dan menunggu kepulangan anaknya. ia berbaring sambil tersenyum tipis, senyum yang mampu memudarkan keriputnya.
Matahari perlahan turun menuju arah barat, Amak terbangun dan menuju kamar Amad. Belum pulang juga anak itu, tak sempat Amak mengira-ngira, Amak hendak mandi. Selesai mandi pun masih sama, tak ditemuinya Anak satu-satunya itu. Lantas ia mencari ke pendopo dekat rumah mereka, biasanya Amad dan anak-anak lain ada disitu. Sampai di sana nihil, tak ditemuinya seseorang pun ada, segera Amak menghampiri rumah teman Amad, mungkin ia disana. Tiga rumah teman Amad sudah di datangi Amak, jawabannya pun sama "Dak ada kami nampak, Bu." Jelas Amak risau, setelah kehilangan suaminya beberapa tahun lalu, tak mau pula ia kehilangan lelaki satu-satunya yang ada di hidupnya kini.
Cahaya matahari berganti dengan cahaya bulan, tak juga ia temui anaknya itu. Amak hendak menangis namun ia tahan, ia segera pulang, harap-harap ia sudah ada dirumah. Setengah berlari Amak menuju rumah, tak juga ia dapati Amad disana. Pecahlah tangis Amak saat itu juga. Seketika Amak teringat perkataan Pak Prabu saat itu, jangan dekati rumah itu, takutnya jin itu meminta tumbal waktu orang memasuki rumah itu. berlari segera Amak keluar rumah menuju rumah Pak Danu, namun tak di dapatinya anaknya itu disana. Makin pecah tangis Amak, namun kali ini tanpa suara. Padahal jelas Amad ada disana, ia tengah bermain dengan robot mainan yang waktu itu dimiliki oleh Yohan. Amad tak sendiri, ia bermain bersama kawan barunya yang tak semua orang bisa melihatnya.
-Eyenul
Komentar
Posting Komentar