Sibuk
Sibuk
Aku bertahan dari semua kecemburuan yang datang menggempur pertahanan.
Menghindari setiap pertikaian agar kita tak melepas sebuah hubungan.
Dan berusaha dewasa dengan mengesampingkan ego walau sebenarnya menyakitkan.
Tapi pada akhirnya aku sadar, akulah yang salah.
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah hubungan. Aku tahu sekali kesukaanmu dan kamu juga tahu kesukaanku. Taman kota adalah tempat kita biasa menghabiskan waktu berdua Sabtu malam. Dengan dua buah crepes coklat dan thai tea sebagai amunisi kita, tak lupa pula kursi di depan lapangan skateboard dengan lampu disampingnya adalah tempat paling nyaman bagi kita berdua menikmati malam.
“Aku sayang kamu.” Katamu sambil merenggut tanganku dan menggenggamnya erat.
“Aku lebih.” Ucapku sembari mencium kepalamu.
Alangkah bahagianya kita malam itu.
Masa kelulusan tiba, aku dengan semua rasa dilemaku mencoba tetap tersenyum bahagia didepanmu. Kita sudah mendapatkan kampus impian kita masing-masing. Kamu tetap di kota ini, sementara aku harus keluar dari kota ini. sebuah keputusan yang berat untukku karena harus meninggalkanmu disini dan harus beradaptasi tanpamu disana.
“Gak apa-apa kok. Kamu pasti bisa. Semangat!” Katamu sembari menunjukan gigi gingsulmu. “Kamu juga.” Aku memelukmu erat.
Hari berganti bulan, bulan berganti dengan bulan yang lain dan akhirnya berganti tahun. Semua berjalan baik-baik saja, aku dengan kesibukanku dan kamu juga dengan kesibukanmu. Walaupun terkadang pikiran buruk datang memburu, aku coba untuk tak hiraukan itu.
Kian hari kian sibuk, kadang pesanmu tak terbalas karena kesibukanku disini. Aku kangen. Beberapa kali kamu mengirim pesan seperti itu saat pesanmu tak aku balas. Aku juga. Maaf aku terlalu sibuk disini. Tunggu aku pulang ya. Balasku padamu.
Saat itu, aku tengah mengurus persiapan pentas seni untuk acara kampus, pesan dari Galang masuk. Ia meminta izin padaku untuk membawamu jalan-jalan. Tak apa pikirku, karena ia adalah salah satu teman kami di sekolah dulu. Aku tak punya perasaan curiga kepadanya. Lagi pula Galang sudah memiliki pacar, tak mungkin dia akan menusukku dari belakang.
Hari masih berganti, tapi ada sesuatu yang aneh. Kamu tak pernah menghubungiku lagi. Aku akhirnya mengirim pesan kepadamu, tak kamu balas, hanya kamu baca. Aku mencoba tenang, mungkin kamu sibuk dengan tugas-tugasmu. Kamu membalasnya esok hari, kamu bilang bahwa kamu tertidur dan tanpa sadar membaca pesan dariku tanpa membalasnya. Tak apalah pikirku, walau hatiku sebenarnya gusar saat itu.
Seminggu berlalu, kita tak terlalu intens bertukar pesan. Aku mencoba berpikir positif bahwa kamu juga sedang sibuk dengan kegiatanmu, namun saat itu pula keyakinanku roboh. Aku melihat Instastory kalian sedang berada di tempat yang tak asing, taman kota. Ini bukan kali pertama, seminggu ini Galang selalu membagikan momen kebersamaan denganmu. Aku mulai curiga.
"Kenapa dengan Galang terus?" Aku bertanya hati-hati.
"Dia kan teman aku." Dengan ketus kamu jawab.
"Kenapa sering sekali hangout berdua?"
"Aku pingin hangout. Yang lain pada sibuk, cuma Galang yang bisa."
"Nara dan Dini kan ada. Kenapa ga.."
"SIBUK! Please, Ki. Aku juga butuh teman cowok. Kita udah 5 tahun loh, kamu gak percaya lagi sama aku?" Aku bisa mendengarmu terisak disana.
Aku tak mau berdebat denganmu malam itu, demi kebaikan aku singkirkan jauh-jauh prasangka itu. "Enggak kok. Maaf, Sayang." Aku mengakhiri telefon ditengah hujan yang semakin deras.
Kian hari kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Kita yang dahulu bisa berbasa-basi seharian, sekarang hanya bertukar pesan seperlunya saja. Instastorymu dan Galang selalu saja berseliweran di beranda Instagramku. Saat itu aku ingin bertanya dan berkata bahwa aku cemburu, namun aku tak mau kamu risih dengan itu. Lantas aku simpan itu dalam-dalam.
Saat itu jam 11 malam, dihari yang sama aku juga baru saja menyelesaikan ujian akhir semester. Aku tengah membuat laporan pertanggungjawaban untuk acara pentas seni di kampus, ditemani secangkir kopi dan roti yang aku dapat dari teman sekelasku, tiba-tiba pesan darimu masuk ke handphoneku.
Kita udahan ya, Ki. Aku gak bisa lanjut. Maaf.
Singkat sekali, tapi cukup untuk membuyarkan konsentrasiku.
Saat aku hendak bertanya kenapa, aku sedikit terlambat karena kamu lebih dulu memblokir semua sosial mediaku. Sania, kamu kenapa? Aku bergumam sendiri malam itu.
Seminggu berlalu, aku pulang dengan segala kebingungan dan kerapuhan yang makin menjadi-jadi. Aku masih saja tetap berusaha menghubungimu, walaupun tetap saja nihil.
“Pulang nanti aku akan langsung menemuimu.” Ucapku lirih sambil menatap keluar jendela bus.
Sampai di rumah aku langsung keluar menuju rumahmu, tanpa sempat mengganti pakaianku. Malang nasibku, orang tuamu tak menyambutku dengan baik. Lantas aku pergi menuju taman kota, kamu mungkin ada disana.
Dugaanku benar kamu ada disina, kamu tengah makan crepes coklat di kursi di depan lapangan skateboard. Kamu melakukan kebiasaan kita disini, walaupun kali ini bukan bersamaku. Itu bukan Galang, bukan pula teman kita dulu di masa sekolah, lelaki yang akupun tak tahu siapa. Kamu memeluknya, tepat saat mata kita saling menatap, dan tatapanmu padakulah yang menjadikan pelukanmu makin erat kepadanya.
Maafkan aku, jika ternyata kesibukanku yang membuatmu lebih memilih orang lain untuk membuatmu bahagia. Semoga lelaki yang kamu peluk malam itu, selalu punya waktu untuk menemanimu. Tak perlu merasa bersalah, aku tahu ini yang terbaik untukmu meskipun tidak bagiku. Biarpun begitu, kamu berhak bahagia dengan pilihanmu, walau pada akhirnya aku tak sepenuhnya bahagia dengan pilihanmu.
-Eyenul
Komentar
Posting Komentar